Selasa, 09 Desember 2008

OPTIMALISASI KECAMATAN DALAM PERSPEKTIF KYBERNOLOGI

OPTIMALISASI KECAMATAN DALAM PERSPEKTIF KYBERNOLOGI

Pendahuluan

 

Kabupaten Lingga terbentuk dengan Undang-undang No. 31 Tahun 2003, hingga kini berusia hampir 4 tahun. Sebagai daerah otonomi baru yang melepaskan diri dari Kabupaten Kepulauan Riau (sekarang Kabupaten Bintan) menjadi tanggungjawab bersama (antara pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat) untuk menjalankan segala konsekuensi sebagai daerah pemekaran baru yang menjalankan rumah tangganya sendiri.

Sebagai daerah otonomi baru, maka segala hambatan pasti ada, seperti mempersiapkan sumber daya manusia (pengelolaan), dan berbagai sumber daya lainnya yang tidak dapat dilepaskan dari mata rantai pembangunan daerah. Apalagi daerah tersebut (Kabupaten Lingga) yang memiliki rentang kendali serta jangkuan daerah-daerah kecil yang memerlukan formulasi dan pola khusus agar terciptanya efisiensi pelayanan masyarakat.

Fenomena Otonomi Daerah yang menganut sistem desentralisasi lebih memberikan jaminan untuk pengelolaan dan pembangunan daerah seoptimal mungkin, hanya saja hal tersebut juga didukung oleh kapasitas sumber penghasilan daerah serta pengelolanya (sumber daya manusia). Penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Lingga terus meningkat setahun terakhir. Dari target Rp4,8 miliar yang dicanangkan pada tahun 2006, kini sudah mencapai Rp10,5 miliar. Penerimaan melampaui 150 persen dari target (BatamPos, 13 Agustus 2007). Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah (PAD), sumber daya manusia yang dimiliki daerah, serta kemampuan daerah untuk mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonom. Terpusatnya SDM berkualitas di kota-kota besar dapat didistribusikan ke daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, karena kegiatan pembangunan akan bergeser dari pusat ke daerah.

Pengelolaan yang dimaksud disini adalah mata rantai pemerintahan mulai dari yang besar hingga bagian terkecil. (Pemerintah Daerah, Kecamatan, Kelurahan dan Desa). Komponen terpenting dalam upaya mobilisasi pembangunan daerah adalah Kecamatan. Dalam pengamatan empiris, pembagian (proporsi jabatan atau satuan perangkat daerah) selalu tidak pada porsinya, sehingga ini yang menjadikan stagnasi kinerja. Hanya setiap individu yang ditunjuk pada suatu jabatan harus memulai lagi dari awal yang bersifat pembelajaran, sirkulasinya berjalan secara kontinyu.

Mungkin ada beberapa indikator penyebab terjadinya hal tersebut. Salah satunya adalah kurangnya sumber daya manusia dan sumber daya aparatur daerah yang mendukung atau hal-hal lain yang dapat kita jadikan pertanyaan bagi diri kita masing-masing. Bagaimana jika menjalankan roda pemerintahan tanpa basic dasar dalam ilmu terapannya?

Revitalisasi

 

Didalam tulisan singkat ini, kita memfokuskan pembahasan tentang upaya mobilisasi dan manejemen pembangunan dalam konteks aparatur daerah diwilayah kecamatan. Karena kecamatan dianggap terpenting dalam sistem administrasi dan koorporasi daerah. Walaupun ada guyonan tentang “ Kecamatan Dudukmu Dimana?”.  Hanya saja disini kita membahas dalam kaca mata Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru).

Sebelum membahas lebih jauh, terlebih dahulu kita simak Pasal 126 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

(1)       Kecamatan dibentuk di wilayah Kabupaten/ Kota dengan Perda berdasarkan Peraturan Pemerintah.

(2)       Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah

(3)       Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi :

a.      Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat.

b.      Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum.

c.       Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan.

d.     Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.

e.      Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan.

f.        Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/ atau kelurahan.

g.      Melaksanakan pelayanan masyarakat menjadi ruang lingkup tugasnya dan/ atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.

 

Yang menjadi pokok bahasan disini adalah seberapa besar peran Camat dalam memobilisasi/manajemen pembangunan daerah? Bagaimana pula kinerjanya dalam upaya mobilisasi tersebut. Ketentuan Pasal 126 (3) menegaskan bahwa walaupun Camat merupakan aparatur daerah, ia berposisi dan berfungsi selaku koordinator kegiatan pemerintahan diwilayahnya (pasal 126 (3) huruf e), (yang dapat ditafsirkan meliputi) baik kegiatan Pusat, kegiatan-kegiatan Daerah, maupun kegiatan jabaran lainnya. Seharusnya, fungsi ini, seperti telah disinggung diatas, ditegaskan juga bagi Bupati/ Walikota. Secara akademik, Camat adalah pengelola (manajemen, manajer) wilayah Kecamatan. (Ndraha, 2006 : 630).

Apakah Camat berfungsi sebagai lini atau staf? Menurut Ndraha (2006 : 630-631), berdasarkan pasal 124 UU No. 32 Tahun 2004, unsur pelaksana Pemerintah Daerah adalah Dinas Daerah. Unsur pelaksana (line fungtion) memproduksi layanan dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal itu berarti, tugas pelayanan (termasuk pemberdayaan, dalam pemberdayaan termasuk pembangunan) kepada masyarakat dibebankan kepada semua Dinas dan terbagi habis antar mereka. Lantas, fungsi apa yang dilimpahkan kepada Kecamatan?* disamping fungsi lini, organisasi mempunyai fungsi staf (staff fungtion). Jika fungsi lini langsung memproduksi dan mendistribusikan layanan dan jasa bagi yang diperintah yaitu manusia dan masyarakat, fungsi staf, Tidak. Fungsi ini bekerja atas nama kepala unit kerja (dalam hal ini Bupati/ Walikota) yang bersangkutan di bidang manajemen pemerintahan, misalnya ; perencanaan, pengaturan, koordinasi, dan control (termasuk supervisi/ pengawasan serta evaluasi). Hubungan antara lini dengan staf dapat digambarkan ibarat sebuah matriks dengan fungsi garis X sebagai staf dan garis Y sebagai lini. Sebagai contoh, jika dalam perusahaan, X (kiri-kanan) melambangkan fungsi korporat, sedangkan Y (atas-bawah) fungsi produksi (production lines). Jika struktur tersebut diterapkan pada Pemerintahan Daerah, maka gambarnya seperti gambar 1.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1. Hubungan Antar Kepala, Staf dan Pelaksana (Struktur Matrik)

pada tingkat Kabupaten/ Kota. (Ndraha 2006 : 631)

Jika semua urusan Otonomi Daerah yang berjumlah 14 + 2 = 16 macam dilakukan sepenuhnya oleh Dinas sebagai unsur pelaksana pemerintahan daerah, sampai pada tingkat Desa/ Kelurahan, langsung berinteraksi dan melayani masyarakat, maka Camat hanya melaksanakan tugas yang dimaksud pasal 126 (3) huruf a s/d f. dalam hubungan itu, Camat memegang fungsi staf teritorial belaka, seperti fungsi Pembantu Gubernur (Residen) atau Pembantu Bupati (Wedana) pada zaman dahulu. Dalam kenyataannya tidaklah demikian. Disatu fihak, pada tingkat Kabupaten/ Kota, tidak semua kewenangan dilembagakan menjadi Dinas Daerah, ada beberapa yang dilembagakan menjadi Badan, Kantor dan lain sebagainya. Difihak lain, tidak semua Dinas mempunyai perpanjangan sampai ke Desa/ Kelurahan dalam bentuk Unit Kerja, bahkan di Kecamatan saja hanya satu, dua. Sebagian beroperasi di Kecamatan atau Desa/ Kelurahan tetapi pangkalannya di Dinasnya di Kabupaten/ Kota. Oleh sebab itu, disatu sisi yang melakukan kegiatan operasional pada tingkat Kecamatan bukan hanya aparat Dinas melainkan juga aparat dekonsentratif, dan disisi lain, ada beberapa tugas yang belum mampu dilakukan oleh Desa/ Kelurahan, dan untuk sementara dilakukan oleh Kecamatan. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Camat memegang fungsi lini pemerintahan. Fenomena saat ini  dapat kita lihat Camat sepertinya kurang berfungsi, karena mendapat porsi tugas tidak maksimal, dan dapat dikatakan semua tugasnya sudah “ditangani oleh” Dinas.

Kasus Empiris yang terjadi, Camat sangat berperan dalam memberdayakan pembangunan masyarakat Desa. Karena fenomena yang terjadi, peran Camat sangat membantu dalam proses mobilisasi tersebut. Dan ada “joke” yang mengatakan bahwa Kepala Desa kurang pro aktif dalam memobilisasi pembangunan daerahnya sendiri mulai dari Desa, Dusun sampai RT/ RW. (kecuali jika ada proyek pembangunan sesuai dengan UU. No. 32 Tahun 2004 Pasal 207 yang berbunyi ; Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah, kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dan PP No. 72 Tahun 2005 Pasal 10 (1).Disinilah baru terlihat aktif seluruh perangkat Desa) Jadi disinilah Camat “mengambil peran” dalam mobilisasi tersebut, guna kesinambungan mata rantai pemerintahan. Hanya saja dalam permasalahan fenomena yang terjadi dari beberapa kasus diatas, susah untuk menyalahkan institusi yang mana. Desa memang diberi kewenangan untuk pengelolaan dalam bentuk pemberdayaan pembangunan sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 pasal 215 (1) dan (2) huruf c, dan juga sebagai sumber pendapatan Desa sesuai pasal 212 (3) huruf a dan b. Tetapi bentuk pelaksanaan yang diberikan Pemerintah Kabupaten/ Kota kepada Desa kurang jelas seperti apa aplikasinya.



* Ketentuan bahwa Dinas dan berbagai unit kerja lain bertanggungjawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah dengan alasan agar tercipta kinerja perangkat Daerah secara optimal, demikian penjelasan UU No. 32 Tahun 2004.

Minggu, 30 November 2008

Kybernan

Kuliah Umum Hukum Lingkungan bersama Prof. Dr. Gerd Winter dari Bremen Universitie Jerman